Kamis, 30 September 2010

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA MATERI BANGUN DATAR DI KELAS IV SDN LIDAH WET

A. JUDUL PENELITIAN
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA MATERI BANGUN DATAR DI KELAS IV SDN LIDAH WETAN IV/566 SURABAYA.
B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan, dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena pendidikan dapat mengembangkan pengetahuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia seperti yang diharapkan. Agar pelaksanaan pendidikan dapat berlangsung sesuai yang diharapkan, maka perlu mendapatkan perhatian yang serius baik oleh pemerintah, masyarakat, orang tua dan guru.
Matematika merupakan salah satu unsur dalam pendidikan. Mata pelajaran matematika telah diperkenalkan kepada siswa sejak tingkat dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi, namun demikian kegunaan matematika bukan hanya memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan kuantitatif, tetapi juga dalam penataan cara berpikir, terutama dalam pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, melakukan evaluasi hingga kemampuan memecahkan masalah. Dengan kenyataan ini bahwa matematika mempunyai potensi yang sangat besar dalam hal memacu terjadinya perkembangan secara cermat dan tepat maupun dalam mempersiapkan warga masyarakat yang mampu mengantisipasi perkembangan dengan cara berpikir dan bersikap yang tepat pula.
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang penting dan sering menjadi masalah bagi siswa, karena dari awal siswa sudah mempunyai bayangan buruk tentang bidang studi matematika, yakni matematika merupakan mata pelajaran yang sangat membosankan karena memaksa siswa untuk berpikir dalam mengikuti kegiatan pembelajaran maupun dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, disinilah peran guru untuk memilih model pembelajaran yang tepat dalam menyelenggarakan pembelajaran matematika, terutama pembelajaran yang dapat menghapus bayangan buruk tersebut terhadap bidang studi matematika (Rosyan, 1987:45). Dengan demikian, pemilihan model pembelajaran yang tepat sesuai dengan tipe bidang studi, perencanaan dan kegiatan belajar mengajar akan mencapai hasil belajar yang baik.
Menurut Sriyanto (2007:15) tujuan diberikannya matematika secara umum di sekolah adalah untuk membantu siswa mempersiapakan diri agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia nyata yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, dan kritis serta mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Berdasaran pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di SDN Lidah Wetan IV Surabaya serta hasil wawancara dengan guru kelas IV SDN Lidah Wetan IV, maka peneliti dan guru menemukan kekurangan-kekurangan atau kendala dalam proses pembelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika materi bangun datar. Selain itu juga masih banyak siswa yang menganggap mata pelajaran matematika sebagai momok dan merasa kesulitan dalam belajar matematika. Bahkan tidak hanya siswa saja sebagian masyarakat pun masih beranggapan bahwa matematika itu sulit dan menakutkan. Kecemasan seperti inilah yang sangat mempengaruhi terhadap mental siswa dalam belajar matematika, yang pada akhirnya orangtua dan siswa sendiri memaklumi apabila prestasi belajar matematikanya rendah.
Rendahnya prestasi belajar matematika siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah proses belajar mengajar. Pembelajaran matematika yang selama ini dilaksanakan oleh guru masih menganut pada teori tabula rasa John Locke (Anita Lie, 2002:2). Teori tersebut menyatakan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Dengan kata lain, otak seorang anak adalah ibarat botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan guru. Berdasarkan asumsi ini dan asumsi yang sejenisnya, banyak guru yang melakukan kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:
a. Memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa. Tugas seorang guru adalah memberi dan tugas seorang siswa adalah menerima. Guru memberi informasi dan mengharapkan siswa untuk menghafal dan mengingatnya.
b. Mengisi botol kosang dengan pengetahuan. Siswa menerima pengetahuan dengan pasif. Guru memiliki pengetahuan yang nantinya akan dihafalkan oleh siswa.
c. Mengkotak-kotakkan siswa. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan nilai dan memasukkan siswa dalam kategori, siapa yang berhak naik kelas, siapa yang tidak, siapa yang bisa lulus dan siapa yang tidak. Kemampuan dinilai dengan rangking dan siswa pun direduksi dengan angka-angka.
d. Memacu siswa dalam kompetensi. Siswa bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat dia yang menang. Orangtua pun saling menyombongkan anaknya masing-masing dan menonjolkan prestasi anaknya.
Dengan kegiatan belajar mengajar tersebut siswa dianggap sebagai klise orang dewasa yang pasif dan butuh motivasi dari luar. Karena itu guru mengembangkan kurikulum yang terstruktur dan menentukan bagaimana siswa harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi sehingga berkesan bahwa pembelajaran adalah sekedar pemindahan, penggrojokan pengetahuan dan penyerapan pengetahuan saja sehingga dirasa kurang bermakna bagi siswa.
Oleh karena itu, saat ini diperlukan pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kebermaknaan pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivis. Dalam pendekatan konstruktivis pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa, sedangkan guru hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan itu sendiri, bukan untuk memindahkan pengetahuan.(Suparno, 1997: 11).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil suatu alternatif pemecahan masalah dengan judul “Penerapan Pendekatan Konstruktivis Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Materi Bangun Datar Di Kelas IV SDN Lidah Wetan IV/566 Surabaya”.
2. Perumusan Masalah/Fokus Penelitian
Bagaimana keefektifan penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika terhadap hasil belajar materi bangun datar siswa kelas IV SDN Lidah Wetan IV Surabaya ?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan penerapan pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran matematika terhadap hasil belajar materi bangun datar siswa kelas IV SDN Lidah Wetan IV Surabaya
4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Guru dalam mengembangkan metode mengajar yang sesuai dengan karakteristik siswa.
b. Siswa dalam mengembangkan dan meningkatkan hasil belajar yang optimal dalam pelajaran matematika dengan menggunakan metode yang cocok yang diberikan oleh guru.

C. KAJIAN PUSTAKA
1. Teori belajar
Pengertian belajar secara umum adalah terjadinya perubahan pada seseorang yang terjadi akibat pengalaman. Perubahan tersebut dapat terlihat (overt) atau tidak (covert), bertahan lama atau tidak, ke arah positif atau negatif pada keseluruhan pribadi atau pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara sendiri-sendiri.
Beberapa teori belajar, antara lain:
a. Teori belajar David Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar. Ausubel (Dimyati,2003:32) membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
b. Teori Bruner
Di dalam proses belajar mengajar, Bruner (Slameto,2003:2) mementingkan partisipasi aktif tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses belajar mengajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”, ialah lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui .
c. Teori Belajar dari Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Piaget (Dimyati,2003:13) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut, antara lain:
1) Sensori motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakkannya.
2) Pra-operasional (2–7 tahun)
Pada tahap ini anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan.
3) Operasional konkret (7–11 tahun)
Pada tahap ini anak dapat mengembangkan pikiran logis, walaupun kadang-kadang memecahkan masalah secara “ trial and error”
4) Operasi formal ( 11 tahun ke atas)
Pada tahap ini anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematika dan pengetahuan sosial. Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
2. Pengertian Pembelajaran
Kegiatan belajar tidak terpisahkan dengan kegiatan pembelajaran (Darsono,1996:26) disebutkan pengertian pembelajaran adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Pembelajaran mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, antara lain:
a. Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja,
b. Pembelajaran merupakan pemberian bantuan yang memungkinkan siswa dapat belajar,
c. Pembelajaran lebih menekankan pada pengaktifan siswa karena yang belajar adalah siswa.
3. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar (Anni,2004:4). Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Ada 9 kategori tipe-tipe hasil belajar khusus (Satmoko,2000:26-27), yaitu:
a. Pengetahuan
1) Terminologi
2) Fakta-fakta khusus
3) Konsep dan prinsip
4) Metode-metode dan prosedur-prosedur
b. Pengertian
1) Konsep dan prinsip
2) Metode dan prosedur
3) Materi tertulis, grafik, gambar peta, dan data bilangan.
c. Aplikasi
1) Informasi aktual
2) Konsep dan prinsip
3) Metode dan prosedur
4) Ketrampilan dalam pemecahan masalah.
d. Ketrampilan berfikir
1) Berfikir kritis
2) Berfikir ilmiah.
e. Ketrampilan umum
1) Ketrampilan laboratorium
2) Ketrampilan bertindak
3) Ketrampilan komunikasi
4) Ketrampilan konseptual
5) Ketrampilan sosial
f. Sikap
1) Sikap sosial
2) Sikap ilmiah
g. Minat
1) Minat pribadi
2) Minat pendidikan dan kejuruan
h. Apresiasi
1) Literatur, seni, musik
2) Pencapaian sosial dan ilmiah
i. Penyesuaian diri
1) Penyesuaian sosial
2) Penyesuaian emosional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dibedakan menjadi dua (Anni,2004:11) yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
1) Aspek fisik, misalnya kesehatan organ tubuh
2) Aspek psikis, misalnya intelektual, emosional, motivasi
3) Aspek sosial, seperti kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan.
b. Faktor eksternal, misalnya iklim/cuaca, suasana lingkungan, tingkat kesulitan bahan belajar, tempat belajar, metode pembelajaran yang digunakan, dan sebagainya.
4. Pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran Matematika
Menurut kaum konstruktivis (Suparno,1996:61), belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks,dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut, antara lain:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c. Menurut Fosnot belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah proses yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannnya.
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Sedangkan fungsi mediator dan fasilitator itu sendiri dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut, antara lain:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka,
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Agar peran dan tugas tersebut berjalan secara optimal, diperlukan beberapa kegiatan dan pemikiran yang perlu disadari oleh guru sebagai berikut, antara lain:
a. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
b. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa benar-benar terlibat.
c. Guru perlu belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa, hal ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar di tengah palajar. Artinya guru perlu menyatu dengan siswa misalnya dalam suatu diskusi kelas, guru tidak hanya memonitor jalannya diskusi akan tetapi turut serta dengan memberi masukan atau permasalahan baru.
d. Guru ikut terlibat dengan siswa yang sedang mengkonstruksi pengetahuannya serta memberi kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
e. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan memahami pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Menurut Suparno (1997:63), ketika pertama kali memasuki kelas, siswa telah membawa makna tertentu tentang dunianya sebagai pengetahuan dasar untuk dikembangkan menjadi pengetahuan baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emosional dan kultural yang semuanya dapat mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengetahuan yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti pendidik agar dapat dikembangkan sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah. Sehingga sangatlah penting bagi guru tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai jawaban yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman siswa.
Yuwono (2003:3) mendefinisikan pengetahuan awal siswa sebagai fakta, ide-ide atau konsep-konsep, prinsip yang telah dimiliki sebelum secara formal mempelajari konsep-konsep baru. Pengetahuan awal tersebut merupakan pengetahuan pribadi siswa yang terbentuk melalui belajar informal, pengalaman sehari-hari maupun dari belajar formal sebelum mempelajari konsep-konsep baru. Pengetahuan awal siswa mengenai suatu objek disebut dengan konsepsi awal (prakonsepsi), sedangkan pengetahuan awal siswa yang tidak tepat sama dengan pengetahuan yang akan dipelajari disebut miskonsepsi. Pada akhirnya, dalam proses pembelajaran di kelas akan terjadi interaksi antara pengetahuan guru dengan pengetahuan awal siswa yang menghasilkan pengetahuan siswa.
Ada beberapa konsep mendasar yang dimunculkan dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis (Mohammad dkk,2000:5), yaitu:
a. Scaffolding, menurut Vygotsky memunculkan konsep scaffolding memberikan sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan mengurangi bantuan serta memberikan kesempatan kepada siswa tersebut untuk mengambil alih tanggung jawab yang besar setelah ia dapat melakukannya.
b. Proses Top Down, ini berarti siswa memulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan memecahkan atau menemukan ketrampilan dasar yang diperlukan.
c. Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu kemampuan memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sejawat yang lebih mampu.
d. Pembelajaran kooperatif, menurut Vygotsky perlunya kelas berbentuk kooperatif antar siswa, sehingga dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang lebih efektif di dalam masing-masing zone of proximal development mereka
Julyan dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang harus dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut, antara lain:
a. Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan setiap murid.
b. Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan penghargaan kepada setiap siswa.
c. Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk memulai.
Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam tentang bahan yang diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari murid dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.
Driver dan Oldham seperti yang dikutip oleh Suparno (2000:69) menyatakan beberapa ciri mengajar konstruktivis sebagai berikut, yaitu:
a. Orientasi, siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik. Siswa diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
b. Elicitasi, siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan dalam wujud tulisan, gambar maupun poster.
c. Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal yaitu:
1) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide orang lain atau teman sejawat lewat diskusi atau lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk mengkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
2) Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan teman-temannya.
3) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk diuji dengan suatu percobaan atau persoalan baru.
d. Penggunaan ide dalam banyak situasi.
e. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, siswa perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah suatu keterangan ataupun mungkin menjadi lebih lengkap.
Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
5. Mengajarkan Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Secara umum, pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme meliputi empat tahap: (1) tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa), (2) tahap eksplorasi, (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep (Horsley, 1990: 59).
Sejalan dengan pandangan di atas, Tobin dan Timon (dalam Lalik, 1997: 19) mengatakan bahwa pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara lain (1) berkaitan dengan prior knowledge siswa, (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experiences), (3) terjadi interaksi sosial (social interaction) dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
Petunjuk tentang proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme juga dikemukakan oleh Dahar (1989: 160), sebagai berikut: (1) siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa, (2) pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, (3) perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan anak untuk menolak saran guru, (4) tekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (5) anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi, (6) hindari istilah teknis dan tekankan berpikir, (7) anjurkan mereka berpikir dengan cara sendiri, dan (8) perkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya.
Beberapa uraian di atas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip belajar konstruktivisme, benar-benar harus memperhatikan kondisi lingkungan bagi anak. Di samping itu, pengertian tentang kesiapan anak untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, bahwa faktor lingkungan sebagai suatu sarana interaksi bagi anak, bukanlah satu-satunya yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh bagi guru.
Yager (1991: 55) mengajukan pentahapan yang lebih lengkap dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Hal ini dapat menjadi pedoman dalam pembelajaran secara umum, pembelajaran dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan pembelajaran Matematika. Cakupan tersebut didasarkan pada tugas guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran pendidikan agama dan olah raga merupakan guru kelas.
Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengillustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut.
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya.
Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan siswa tersebut. 
D. METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang menrupakan suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam arti luas (Purwadi dalam Sukidi, 2007).
a. Persiapan penelitian
Sebelum melaksanakan penelitian, maka peneliti harus mempersiapkan segala sesuatu dengan baik agar berjalan lancar sesuai dengan harapan. Adapun persiapan yang harus dilakukan oleh peneliti adalah: mempersiapkan instrumen penelitian berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), kisi-kisi soal dan lembar aktivitas siswa dan guru dalam pengelolaan kelas.
b. Orientasi lokasi penelitian
Sebelum melakukan kegiatan penelitian, peneliti melakukan orientasi di lokasi penelitian yang dituju, yaitu SDN Lidah Wetan IV Surabaya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesediaan pihak sekolah untuk dijadikan tempat penelitian.
c. Studi pendahuluan
Pendahuluan dilaksanakan dengan observasi ke lokasi penelitian yaitu SDN Lidah Wetan IV Surabaya. Observasi dilakukan untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh guru kelas khususnya kelas IV serta metode apa saja yang diterapkan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya peneliti melakukan diskusi bersama guru kelas untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa.
d. Membuat rancangan siklus penelitian.
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam dua siklus dengan bagan penelitian sesuai model Kemmis dan Taggart sebagai berikut:
Problem/masalah
Kendala
Refleksi
Plan siklus 1
Act/Observasi
Kendala
Refleksi Re - Plan siklus 2

Act/ Observasi
Bagan 3.1 Diadaptasi dari Kemmis dan Taggart (Darsono, 1996)

e. Menyusun instrumen penelitian
Instrumen merupakan alat untuk mengumpulkan data di lapangan. Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran dan tes (soal evaluasi) yang dilaksanakan pada akhir setiap siklus pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran pendekatan konstruktivis pada mata pelajaran matematika dengan materi bangun datar.
f. Persiapan tindakan penelitian
Persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari satu kali pertemuan. Terjadi pemindahan siklus karena pada pelaksanaan siklus pertama, guru (peneliti) telah menuntaskan materi pembelajaran dan telah melakukan tes akhir siklus satu. Sehingga, guru (peneliti) perlu melanjutkan kegiatan berikutnya yaitu siklus kedua sesuia dengan rencana penelitian.
Berbagai persiapan tindakan penelitian yang perlu ditempuh peneliti adalah:
Siklus I
1) Perencanaan
Pada tahap ini, guru (peneliti) mempersiapkan hal-hal yang perlu disiapkan sebagai acuan untuk penelitian, yakni:
(a) Merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang menitikberatkan pada metode yang tepat dengan pendekatan konstruktivis.
(b) Menyiapkan lembar observasi aktivitas siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
(c) Menyiapkan media pembelajaran
(d) Melihat tingkat kemampuan awal siswa pada awal pembelajaran dengan melakukan tes awal.
(e) Menyusun dan menyiapkan perangkat tes siklus I.
2) Tindakan/Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan/tindakan, guru (peneliti) dan guru kelas bersama-sama melaksanakan kegiatan pembelajaran, yaitu:
(a) Melaksanakan tes awal
(b) Menyiapkan media/alat peraga
(c) Melaksanakan Proses Belajar Mengajar sesuai dengan pendekatan konstruktivis yang telah disusun dengan langkah-langkahnya.
(d) Mengarahkan/membimbing siswa untuk beraktivitas dan berkreativitas.
(e) Melaksanakan tes akhir siklus I
3) Pengamatan
Pada tahap pengamatan, guru (peneliti) dibantu oleh observer untuk melakukan:
(a) Mengobservasi aktivitas guru dalam pembelajaran yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan instrumen observasi.
(b) Mengobservasi aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi.

4) Refleksi
Pada tahap refleksi, guru (peneliti) dan observer bersama-sama mendiskusikan tentang hasil pengamatan dan mendiskusikan perbaikan tujuan pembelajaran yang harus dilakukan untuk siklus berikutnya.
Siklus II
Sama dengan siklus I dengan menambahkan beberapa poin, yaitu:
1) Perencanaan
(a) Merevisi tindakan-tindakan yang kurang atau tidak relevan pada siklus I
(b) Menyiapkan media dan instrument
(c) Menyiapkan perangkat tes untuk siklus II
2) Tindakan/Pelaksanaan
(a) Melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan pendekatan konstruktivis yang telah disusun dengan langkah-langkahnya.
(b) Mengarahkan dan membimbing siswa untuk beraktivitas dan berkreativitas.
(c) Melaksanakan tes akhir siklus II
3) Pengamatan
(a) Mengobservasi aktivitas guru dalam pembelajaran yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan instrumen observasi.
(b) Mengobservasi aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi.
4) Refleksi
Melakukan diskusi dengan observer tentang hasil pengamatan pada siklus II.
2. Lokasi penelitian dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas IV SD Negeri Lidah Wetan IV Surabaya. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV SDN Lidah Wetan IV Surabaya dengan jumlah siswa 32 yang terdiri dari laki-laki 13 orang dan perempuan 19 orang.
3. Teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian
a. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dan tes.
1) Observasi
Observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran tentang bangun datar pada siswa kelas IV SDN Lidah Wetan IV Surabaya.
2) Tes
Tes diberikan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika (terkait dengan topik yang diberikan). Jumlah butir tes (evaluasi) yang digunakan adalah lima nomor soal untuk masing-masing siklus, yang diberikan pada akhir pembelajaran setiap siklus, dan waktu yang digunakan untuk evaluasi (tes) yang dilaksanakan pada tiap siklus adalah dua puluh (20) menit.
b. Instrumen penelitian
Sesuai dengan jenis data di atas, maka instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan indikator penilaian sebagai berikut:
(a) Mendengar dan memperhatikan penjelasan guru atau sesama siswa (interaksi dalam pembelajaran),
(b) Mampu menghubungkan materi yang diberikan dengan kehidupan sehari-hari,
(c) Secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah dengan strategi atau kemampuan mereka masing-masing,
(d) Mampu dan berani mengerjakan soal dipapan tulis,
(e) Partisipasi dalam pembelajaran,
(f) Bertanya kepada guru,
(g) Bertanya atau berdiskusi dengan teman,
(h) Pemahaman atau penguasaan materi,
(i) Mampu menjelaskan strategi atau cara yang mereka gunakan untuk memecahkan masalah,
(j) Mengerjakan tugas di rumah dan menyerahkannya kepada guru.
2) Lembar observasi untuk guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan konstruktivis dengan indikator penilaian sebagai berikut: (1) Persiapan (2) Pendahuluan (3) Penerapan (4) Penanganan perilaku siswa yang tidak relevan dalam proses pembelajaran (5) Interaksi dengan siswa (6) Kemampuan keterampilan guru.
3) Perangkat tes untuk setiap siklus.
(a) Bentuk tes : tes tertulis
(b) Jenis tes : tes uraian
(c) Alat tes : butir soal, dengan jumlah soal untuk setiap siklus adalah lima butir soal.
(d) Waktu yang digunakan untuk pelaksanaan evaluasi (tes) untuk setiap siklus adalah 20 menit.
4. Teknik analisis data
Dari hasil penelitian diperoleh dua jenis data, yaitu:
a. Data hasil observasi dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan kegiatan siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tahapan yaitu pereduksian data, penyajian data dan verifikasi/penyimpulan data.
b. Data hasil tes belajar dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rumus:


1) Rata-rata kelas

Keterangan:
X = rata-rata kelas
= jumlah nilai seluruh siswa
n = jumlah seluruh siswa
2) Ketuntasan belajar:
P = x 100%
Keterangan:
P = persentase ketuntasan
n = jumlah frekuensi yang tuntas belajar
N = jumlah seluruh siswa (Arikunto 2001: 34)
c. Tingkat pemahaman siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria penilaian sebagai berikut:
80% - 100% tinggi
60% - 79% sedang
0% - 59% kurang (Indana 1998).
Seorang siswa dikatakan telah tuntas belajar apabila telah mencapai ketuntasan belajar dengan persentase 65% ke atas dari nilai maksimal. Sedangkan ketuntasan klasikal tercapai apabila paling sedikit 75% siswa di kelas tersebut telah tuntas belajar (Djamarah, 2005:263).

E. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, dkk. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Bumi Aksara.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisme. Surabaya : Prestasi Pustaka

Djamarah, Syaiful B. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Banjarmasin: Rineka Cipta.

Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Ernest, P. 1991. The Philosophy of Methematics Education. London: Falmer.

FitzSimons, G. 1992. Contructivism in Vocational and Further Education Classes. In M Horne and M. Supple (Eds.). Mathematics Meeting the Challenge (pp.77 - 82). Melbourne: The Mathematical Associtiaon of Victoria.

Freudental, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Hanbury, L. 1996. Constructivism: So What? In J. Wakefield and L. Velardi (Eds.). Celeberating Mathematics Learning (pp.3. Melbourne: The Mathematical Assciation of Victoria.

Horsley, S.L. 1990. Ementary School Science for the 90S. Virginia: Association Supervision and Curriculum Development.

Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

Hudoyo, H. 1998. Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan.

Jackson, P.W. 1992. Handbook of Reseasrch on Curriculum. New York: A Project of American Educational Research Association.

Lalik, B. 1997. Perubahan Konsepsi Siswa pada Pembelajaran Topik Pernapasan di SD. Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.

Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih.

Romberg, T.A. 1992. Problematic Features of the School Mathematics Curriculum, in J. Philip (Ed.). Handbook of Reseasrch on Curriculum (pp.749 - 788). New York: A Project of American Educational Research Association.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Suparno, P. 1996. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Susan, C., Marilyn, L. dan Tony, T. 1995. Learning to Teach in the Secondary School. London: Routledge.

Tanjung, R.M. 1998. Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.

Tasker, R. 1992. Effective Teaching: What Can a Constructivist View of Learning Offer. The Australian Science Teacher JouTyrnal. 38 (1), 25 - 34.

Tytler, R. 1996. Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science. Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA.

Wheatley, G.H. 1991. Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Science Education Journal. 75 (1), 9 - 21.

Yager, R. 1991. The Constructivist Learning Model: Toward Real Reform in Science Education. Journal of Science Teacher. 58 (6), 52 - 57.

Jumat, 13 November 2009

Model-Model Pembelajaran Beserta Sintaksnya

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).

Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.

Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

Problem Posing
Problem posing yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).

Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.

Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (199 mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.

Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.

Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:

a.Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b.Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.

c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.

Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.

e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.

AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.

Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.


STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi

CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.

MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.

Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.

CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

Artikulasi
Artikulasi adalah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.

Talking Stick
Sintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi

Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Demonstration
Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.

Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.

Generatif
Generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi

Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

Complete Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.

Time Token
Model ini digunakan untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

http://sanggarguru.blogspot.com/
Diposkan oleh Dr. suyatno, M.Pd.

Pengaruh Internet Dalam Dunia Pendidikan

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sangat pesat dan merambah banyak aspek kehidupan manusia terutama bagaimana pemanfaatan media internet dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Internet berawal dari institusi pendidikan dan penelitian di Amerika. Penggunaan internet untuk kepentingan bisnis baru dimulai sejak tahun 1995 sebagai langkah awal masyarakat mengenal manfaat internet. Jika dibandingkan dengan masyarakat di luar negeri, internet ini sering disosialisasikan dengan bisnis dan entertainment.
Di Indonesia, masalah kelangkaan sumber informasi konvensional (perpustakaan) lebih berat dibandingkan dengan di tempat lain. Adanya internet merupakan salah satu solusi pamungkas untuk mengatasi masalah ini. Pemanfaatan media internet hanya sebagian kecil sekolah yang memiliki sambungannya (Internet Connectivity), tetapi belumsemua dilengkapi dengan fasilitas Local Area Network (LAN). Para pakar pendidikan akan mendukung rencana pemanfaatan media internet untuk pembelajaran dan juga akan menyatakan kesiapan untuk melengkapi institute pendidikan (sekolah) dengan jaringan LAN dan sambungan internet. Hal ini akan menuntut peran serta peserta didik dan masyarakat umum (orang tua) untuk memanfaatkan media internet. Para peserta didik akan menjadi sample dalam merespon secara positif tentang pemanfaatan media internet untuk pembelajaran.
Strategi menciptakan manusia yang bersumber daya unggul dan kebebasan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya merupakan prasyarat pokok bagi perkembangan masyarakat maju. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini merupakan strategi menciptakan manusia kreatif, produktif, berwawasan ke masa depan dan berdaya unggul.

B.Rumusan msalah
1. Bagaimana pengaruh internet dalam dunia pendidikan?
2. Bagaimana memanfaatkan media internet dalam meningkatkan mutu pendidikan?
3. Kendala-kendala apa saja yang dialami dalam memanfaatkan media internet untuk meningkatkan mutu pendidikan?
C.Pembahasan
1. Pengaruh internet dalam dunia pendidikan
Adanya internet memungkinkan mengakses kepada sumber informasi yang mulai tersedia banyak. Dengan kata lain, ini masalah akses semestinya bukan menjadi masalah lagi. Internet dapat dianggap sebagai sumber informasi yang sangat besar dibidang apapun yang diminati pasti ada infornasi dan internet.
Internet merupakanmedia komunikasi dan media pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi guru, siswa, dan masyarakat pada umumnya seta pengaruhnya dalam dunia pendidikan karena belajar melalui internet merupakan belajar secara online. Sistem belajar ini lebih mudah, cepat, dan murah. Selain itu, informasi yang didapat lebih variatif. Bahkan organisasi dunia pun (PBB) telah merancang konsep pendidikan “Education for next generation” yang lebih banyak berbasis informasi, teknologi, dan komunikasi (ITC). Banyak masyarakat yang mengkhawatirkan pemanfaatan media internet di dunia pendidikan, khususnya si sekolah dasar. Teknologi hadir di masyarakat bukan sesuatu yang harus ditolak karena alas an menkhawatirka masa depan anak didik. Tapi, jangan sampai karena kekhawatiran, teknologi itu ditolak. Masyarakat harus optimis kalau hal itu akan memberi manfaat yang besar bagi pendidikan.
Adanya kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan setting room yang tepat, konsep setting tempat yang terbuka, dan tidak akan ada akses untuk membuka situs yang kurang menguntungkan bagi pembelajaran anak didik, contohnya situs-situs porno.
Internet untuk sekolah dasar dapat mengubah paradigma belajar yaitu belajar dari segala arah. Sampai saat sekarang pun proses belajar di sekolah dasar maupun perguruan tinggi lainnya lebih banyak terpaku pada buku dan guru, maupun denganinternet, siswa akan belajar dengan orang yang asing bagi mereka.
Peran serta guru, orang tua juga perlu mengawasi anaknya dalam belajar untuk mendapatkan informasi yang banyak, cepat, dan murah, berdiskusi dengan teman dan guru tentang informasi yang diperoleh.
Pemanfaatan media internet untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat mengakses dunia tanpa harus mengelilingi dunia dan untuk meminimalkan dampak negatifnya diperlukan bimbingan yang tepat bagi siswa mengenai sisi positif dan sisi negative untuk membangun kompetisi dari anak.
Pengaruh internet dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah dasar harus diperkenalkan sejak dini karena sangat membantu anak dala mengembangkan wawasannya.
2. pemanfaatan media internet dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa sumber belajar hanya dapat diperoleh dari buku, guru, sebagai nara sumber, dan lingkungan sekitar. Ternyata masih ada media yang lebih modern (internet) dimana cakupan informasinya lebih luas, dapat memudahkan peserta didik dan masyarakat pada umumnya untuk mengetahui informasi terkini baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pada hakekatnya, pembangunan masyarakat yang bersumber daya unggul adalah suatu kegiatan pendidikan informal dan bertujuan untuk mendidik masyarakat agar memiliki perilaku pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang baik untuk melaksanakan pembangunan guna peningkatan taraf kesejahteraan, social, dan ekonomi masyarakat.
Merumuskan suatu program pembangunan masyarakat yang efektif dan efesien adalah suatu pekerjaan rumit dan kompleks, karena yang dihadapi adalah masalah keterbelakangan dan kekurangpahaman demi mencapai mutu sumber daya manusia yang mandiri.
Pemanfaatan media internet dalam meningkatkan mutu pendidikan memegang peranan penting di dalam melahirkan sumber daya manusia produktif dan mandiri, dalam arti mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pandangan bagi diri sendiri.
Adapun beberapa cara/alternative memanfaatkan media internet dalam meningkatkan mutu pendidikan, yaitu:
a. Mengenal/mempelajari internet
Untuk mengetahui informasi-informasi terkini yang sedang merambah di masyarakat umum, maka kita dapat mempelajarinya melalui media internet karena lebih lengkap, cepat diperoleh, dan sangat terpercaya.
b. Mengikuti pelatihan-pelatihan ITC yang diadakan oleh instansi tertentu
Pelatihan-pelatiahan ITC dapat mendukung dunia pendidikan, sehingga jaringan pembelajaran online lebih dimanfaatkan dalam pendidikan global. Selain pemanfaatan dalam dunia pendidikan global, pemerintah sendiripun telah mempercepat perancangan millinium development goals yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi 2015. miliinium development goals adalah era pasar bebas atau era globalisasi sebagai era persaingan mutu atau kualitas untuk mempertahankan eksistensinya.
Oleh karena itu, pembangunan sumber daya manusia berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tepat dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini mutlak karena akan menjadi penopang utama pembangunan nasional yang mandiri dan berkeadilan, good governance, and clean governance, serta menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari multidimensi krisis, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi.
c. Mengadakan sambungan internet (Internet Connectivity)
Usaha untuk mengadakan sambungan internet (Internet Connectivity) di setiap lembaga pendidikan merupakan tanggung jawab pimpinan lembaga dan pemerintah terkait yang dilandasi dengan kerja sama yang baik.
Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strateginya agar sesuai dengan kebutuhan dan tidak ketinggalan zaman.
Pemanfaatan media internet untuk meningkatkan mutu pendidikan secara langsung mengubah tatanan kehidupan manusia, demikian halnya dalam sistem pendidikan karena sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, dan global.
3. Kendala-kendala yang dialami dalam memanfaatkan media internet untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Adapun kendala-kendala yang dialami dalam memanfaatkan media internet yaitu:
a. Kurangnya penguasaan bahasa inggris
Suka atau tidak suka, sebagian informasi di internet tersedia dalam bahasa inggris. Penguasaan bahasa inggris menjadi salah satu keunggulan (advantage).
b. Kurangnya sumber informasi dalam bahasa Indonesia
Kita sadari bahwa kita semua orang Indonesia akan belajar bahasa inggris. Untuk itu, sumber informasi dalam bahasa Indonesia harus tersedia. Saat ini belum banyak sumber informasi pendidikan yang tersedia dalam bahasa Indonesia.
Konsep berbagi (sharing) misalnya mebuat materi pendidikan di internet belum merasuk. Inisiatif langkah seperti itu sudah ada, namun masih kurang bayank.
c. Akses internet masih mahal
Meskipun sudah tersedia, akses internet masih mahal. Namun hal ini diharapkan agar menjadi lebih murah di masa yang akan datang. Mekanisme lain adalah adanya subsidi dari pemerintah untuk instansi pendidikan.
d. Akses internet masih susah diperoleh
Beberapa internet masih belum memiliki jalur telepon yang dapat digunakan untuk mengakses internet. Hal ini merupakan hambatan utama dalam pemanfaatan media internet.
e. Guru belum siap
Guru di Indonesia masih belum siap untuk mengguanakan internet sebagai bagian dari pengajarannya. Padahal guru merupakan salah satu pengguna yang dapat memanfaatkan internet sebaik-baiknya. Salah satu contohnya adalah mancari soal-soal latihan untuk kelasnya. Jika setiap guru di Indonesia membuat dua soal dan menyimpannya di internet, maka ada ribuan atau jutaan soal yang dapat digunakan untuk latihan di kelas.
D. Simpulan
Internet adalah media/sumber informasi yang sangat besar. Walaupun pemanfaatan media internet masih mengalami kendala, tapi dari waktu ke waktu tetap diminati oleh masyarakat umum. Informasi-informasi yang redapat dala internet sangat akurat dan terpercaya. Pemanfaatan media ini mengarah pada perubahan yang membawa keuntungan bagi masyarakat luas.

RPP RME ( Pengurangan Bilangan Bulat)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(R P P)

Satuan Pendidikan: SD Lidah Kulon IV Surabaya
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas semester : V / I
Alokasi Waktu : 2 x 35 menit (1 x pertemuan)
Standar Kompetensi
Melakukan operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah
Kompetensi Dasar
Melakukan operasi hitung bilangan bulat termasuk penggunaan sifat-sifatnya, pembulatan dan penaksiran
Indikator
Produk
1. Menjelaskan strategi pengurangan bilangan bulat
Proses
1. Memecahkan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan operasi hitung pengurangan bilangan bulat
Keterampilan Sosial
1. Melakukan komunikasi yang meliputi bertanya, berpendapat dan presentasi

Tujuan Pembelajaran
Produk
1. Dengan disediakan balok garis bilangan siswa dapat menjelaskan strategi pengurangan bilangan bulat
Proses
1. Dengan diberikan suatu permasalahan pengurangan bilangan bulat, siswa dapat menjelaskan strategi pengurangan dua bilangan bulat dengan bantuan kartu bilangan
Keterampilan sosial
1. Dengan Kegiatan diskusi siwa dapat melakukan komunikasi yang meliputi bertanya, berpendapat dan presentasi
Model Pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) menggunakan model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Sumber Pembelajaran
1. Buku siswa kelas V: Pertemuan 1 sampai dengan pertemuan 7
2. Buku guru kelas V: Pertemuan 1 sampai dengan pertemuan 7
3. Lembar Kegiatan Siswa 2: Melakukan operasi hitung pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan balok garis bilangan
4. Kunci Lembar Kegiatan Siswa 2: Melakukan operasi hitung pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan balok garis bilangan
Alat dan Bahan
a. Balok garis bilangan
b. Mobil-mobilan
Kegiatan Pembelajaran
A.Orientasi siswa pada masalah
1.Guru memotivasi siswa dengan mengajukan suatu permasalahansehari-hari, tentang suhu es dan menjelaskan bahwa hari ini mereka akan kembali menggunakan balok garis bilangan bulat untuk memecahkan masalah tentang pengurangan bilangan bulat
2.Guru menyampaikan inti tujuan pembelajaran yaitu memahami strategi pengurangan bilangan bulat (dengan bantuan balok garis bilangan bulat).
B.Mengorganisasi siswa untuk belajar
1.Guru membentuk siswa ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang secara heterogen
2.Guru memfasilitasi siswa dengan membagikan balok garis bilangan dan mobil-mobilan pada tiap kelompok.
3.Guru menyajikan informasi pada siswa tetang cara pemecahan masalah menggunakan media yang disediakan yaitu balok garis bilangan dan mobil-mobilan.
C.Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
1.Guru mengajukan permasalahan yang berkaitan dengan pengurangan bilangan bulat
2.Guru mendorong dan memibmbing siswa untuk melaksanakan eksperimen guna mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah dalam LKS dengan menggunakan balok garis bilangan
D.Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
1.Guru meminta siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas secara bergantian dan memberikan penilaian aktivitas.
E.Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
1.Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses – proses yang mereka gunakan dengan mendiskusikan hasil pekerjaan siswa dengan seluruh anggota kelas dan ajukan pertanyaan-pertanyaan seputar strategi yang dipakai siswa dan alasan jika ada perbedaan hasil penjumlahan sesuai masalah yang dibahas.
2.Guru bersama siswa membuat simpulan tentang strategi pengurangan bilangan bulat yakni pengurangan pada bilangan bulat, sama artinya dengan penjumlahan dengan lawan bilangan pengurangannya.
Contoh: 5 – (-3) sama artinya dengan 5 + 3. Dimana 3 adalah lawan dari -3. Jadi 5 – (-3) = 5 + 3
Evaluasi
1.Penilaian menggunakan Lembar Penilaian (LP): Operasi hitung bilangan bulat.
2.Penilaian kinerja : Penilaian keterampilan sosial
Daftar Pustaka
1.Soenarjo, RJ. 2008. Matematika 5. Jakarta: JP Books
2.Sumanto, YD, dkk. 2008. Gemar Matematika 5. Jakarta: PT Karsa Mandiri Persada
3.Sudwiyanto, Drs, dkk. 2007. Terampil Berhitung Matematika kls V. Jakarta: Erlangga
4.Mariana, N. 2009. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran SD Bidang Studi Matematika berbasis PMRI. Surabaya: PGSD UNESA.
5.Budiono. 2009. Modul Pengembangan perangkat pembelajaran bidang Studi Matematika Sekolah Dasar (SD) Pendidikan dan Pelatihan Guru (PPG) Prajabatan S1 PGSD: PGSD UNESA

Soal & Kunci Jawaban OE

Soal
1. Ketika Faisal berulang tahun yang ke 10, Ayah dan Ibu memberikan 250 ekor ayam untuk dipelihara. Berapakah masing-masing ayam yang di dapat Faisal dari Ayah dan Ibu ?
2. Berat seekor kerbau adalah 500 kg. setara dengan berapa anakkah berat kerbau tersebut ?
3. Ayah mendapat 300 ekor sapi dari Pak Adi dan Pak Budi. Berapakah masing-masing sapi yang didapat Ayah dari Pak Adi dan Pak Budi ?
4. Seekor kambing beratnya 100 kg, berapa ekor ayamkah yang kamu perlukan agar berat badannya sama dengan berat badan kambing itu?
5. Seekor kerbau beratnya 480 kg, berapa ekor kambingkah yang kamu perlukan agar berat badannya sama dengan berat badan kerbau itu?

Kunci Jawaban
1. Alternatif jawaban:
a. 200 + 50 = 250
b. 150 + 100 = 250
c. 100 + 150 = 250
d. 40 + 210 = 250
e. 210 + 40 = 250
f. 750 – 500 = 250
g. 500 – 250 = 250
h. 400 – 150 = 250
i. 300 – 50 = 250
2. Alternatif jawaban:
a. 5 anak = 100 + 100 + 100 + 100 + 100
b. 10 anak = 50 + 50 + 50 + 50 + 50 + 50 + 50 + 50 + 50 + 50
c. 2 anak = 250 + 250
d. 4 anak = 125 + 125 + 125 + 125
3. Alternatif jawaban:
a. 200 + 100 = 300
b. 150 + 150 = 300
c. 100 + 150 = 300
d. 50 + 250 = 300
e. 250 + 50 = 300
f. 170 + 130 = 300
g. 280 + 20 = 300
h. 190 + 110 = 300
i. 750 – 450 = 300
j. 500 – 200 = 300
k. 400 – 100 = 300
4. Alternatif jawaban:
a. 5 ekor ayam yang beratnya sama = 20 + 20 + 20 + 20 + 20
b. 10 ekor ayam yang beratnya sama = 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10
c. 2 ekor ayam yang beratnya sama = 50 + 50
d. 4 ekor ayam yang beratnya sama = 25 + 25 + 25 + 25
e. 2 ekor ayam yang bertnya 20 kg dan 2 ekor ayam yang beratnya 30 kg = 20 + 30 + 20 + 30
5. Alternatif jawaban:
a. Siswa dapat memisalkan berat 12 ekor kambing sama, yaitu 40 kg. Kemudian mereka melakukan penjumlahan berulang: 40 + 40 + 40 + 40+ 40 + 40 + 40 + 40 + 40 + 40 +40 +40 = 480
b. 8 ekor kambing dengan berat 30 kg dan 6 ekor dengan berat 40 kg = 30 + 40 + 30 + 40 + 30 + 40 +30 + 40 ¬+ 30 + 40 + 30+ 40 + 40 + 40 + 40 = 480
c. 16 ekor kambing yang beratnya sama = 60 + 60 + 60 + 60 + 60 +60 + 60 ¬+ 60 = 480
d. 8 ekor kambing yang beratnya sama = 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10
e. 2 ekor kambing yang beratnya sama = 240 + 240 = 480
f. 4 ekor kambing yang beratnya sama = 120 + 120 + 120 + 120 = 480

RME & Teori Belajar Yang Relevan Dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)

Matematika Realistik (MR) diadopsi dari Realistic Mathematic Education (RME) yang merupakan teori pembelajaran dalam matematika. Menurut Tarigan, (2006) RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada asumsi bahwa, matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktifitas manusia. Ini berarti, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan situasi hidup sehari-hari. Selain itu manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) dan mengkonstruksi konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994; Kooij, 1998 ) dalam Suharta, (2001). Upaya ini dilakukan dengan penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “Realistik “. Proses reinvensi dalam empat tahap yang dikemukakan oleh Gravemeijer (1994) dalam Tarigan (2006: 4) yakni : (1) Tahap situasional: pengetahuan dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas digunakan dalam konteks situasi yang sedang dihadapi (2) Tahap refrensial: model situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk mengacu / menjelaskan situasi masalah yang sedang dihadapi (3) Tahap umum: model penalaran dan strategi matematis digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi masalah yang mirip (4) Tahap formal: prosedur dan notasi baku digunakan untuk memecahkan masalah matematika.
Pandangan yang lain (berasal dari freudenthal) adalah matematika sebagai kegiatan manusia yang lebih menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan. Pembelajaran berpusat pada siswa, dengan demikian pelaksanaan pembelajaran matematika, sampai batas tertentu perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Dalam pembelajaran matematika realistik, peran guru terutama sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam proses rekonstruksi ide dan konsep matematika. Gravemeijer, (1994) dalam Tarigan, (2006:5) menjelaskan bahwa peran guru harus berubah dari seorang validator (menyalahkan/membenarkan) menjadi pembimbing yang menghargai setiap kontribusi (pekerjaan dan jawaban) siswa. Perbaikan proses pembelajaran di kelas dapat dititikberatkan pada kegiatan belajar mengajar, aspek ini terkait langsung dengan tanggungjawab guru membina subjek didik menjadi lebih termotivasi untuk belajar sekalipun dengan dukungan yang minimal dari guru (tanpa perlu diceramahi). Konsep ini merupakan acuan bahwa tidak ada siswa yang bodoh dan pengalaman membuktikan bahwa keterbelakangan hanya terjadi jika subjek tersebut malas belajar.
Selanjutnya dalam Gravemeijer, (1994) dalam Tarigan, (2006:5) dinyatakan bahwa pembelajaran matematika realistik ada lima tahapan yang harus dilalui siswa yaitu: penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi, kepercayaan diri dan representasi.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Lange,1995) dalam Hadi, (2005):
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif:
Karakteristik dari pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan oleh Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6)
a. Penggunaan konteks: proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
b. Instrumen vertikal: konsep atau ide matematika. Direkonstruksikan oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal kebentuk formal (dari model yang konkret meningkat ke model yang abstrak).
c. Konstribusi siswa: siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
d. Kegiatan interaktif: kegiatan belajar bersifat interaktif yang memungkinkan terjadi komunikasi dan negosiasi antar siswa.
e. Keterkaitan topik: pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan berbagai topik matematika secara terintegrasi.
Berdasarkan aspek-aspek dan karakateristik dari pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan oleh Lange, (1995) dalam Hadi, (2005) dan Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6) maka guru da siswa dikatakan aktif dalam kegiatan pembelajaran apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

A Guru
1) Melakukan persiapan kegiatan pembelajaran dengan menyiapkan buku paket atau buku penunjang termasuk rencana pelaksanaan pembelajaran, menyiapkan alat evaluasi berupa tes hasil belajar, menyiapkan media atau alat peraga pembelajaran
2) Memiliki keterampilan dasar dalam membuka kegiatan pembelajaran dengan melakukan kegiatan antara lain: memberi salam kepada peserta didik, mengelola kelas, memberikan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran
3) Mampu menerapkan materi pembelajaran dengan memberikan masalah-masalah kontekstual bagi siswa, merespons secara positif setiap jawaban siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan strategi mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah, menggunakan model dalam pembelajaran, menghargai kontribusi siswa, membangun pembelajaran yang interaktif, memotivasi siswa dan memeberikan tugas rumah kepada siswa.
4) Mampu menangani perilaku siswa yang tidak relevan dalam kegiatan pembelajaran
5) Menanggapi setiap kesulitan yang dihadapi siswa
6) Memiliki keterampilan dasar dalam mengelola pembelajaran antara lain: keterampilan mengadakan variasi, keterampilan memeberikan penguatan, keterampilan menjelaskan materi pembelajaran dan penguasaan materi pembelajaran

B Siswa
1) Mendengar dan memperhatikan penjelasan guru atau sesama siswa (interaksi dalam pembelajaran)
2) Mampu menghubungkan materi yang diberikan dengan kehidupan sehari-hari
3) Siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah dengan strategi informal
4) Mampu dan berani mengerjakan soal dipapan tulis
5) Partisipasi dalam pembelajaran
6) Bertanya kepada guru
7) Bertanya atau berdiskusi dengan teman
8) Pemahaman atau penguasaan materi
9) Mampu merumuskan bentuk matematika formal
10) Mengerjakan tugas dirumah dan menyerahkannya kepada guru

2.7 Teori Belajar Yang Relevan Dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Berikut ini teori-teori belajar kognitif yang relevan dengan pembelajaran matematika realistik:
1. Teori Bruner
Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika. Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48) menyatakan bahwa dalam mengajar suatu bahan kajian lebih ditunjukkan untuk membuat siswa berpikir untuk diri mereka sendiri.
Lebih lanjut Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48) menyatakan bahwa anak-anak berkembang dalam tiga tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1) Enaktif, pada tahap ini anak belajar memanipulasi objek-objek secara langsung.
2) Ikonik, pada tahap ini kegiatan anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.
3) Simbolik, pada tahap memanipulasi simbol dan tidak ada kaitannya dengan objek-objek secara langsung.
Urutan tahapan belajar oleh Bruner, tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Berdasarkan teori Bruner, pembelajaran matematika realistik cocok diterapkan dalam pembelajaran, karena diawal pembelajaran sangat dimungkinkan siswa memanipulasi objek-objek yang ada kaitannya dengan masalah-masalah kontekstual yang diberikan oleh guru secara langsung. Kemudian pada proses matematisasi vertikal siswa memanipulasi simbol.
2. Teori Piaget
Menurut Piaget pengetahuan datang dari tindakan, dan sebagian besar perkembangan kognitif bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan.
Teori belajar kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. “manusia tumbuh beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, keribasian, sosioemosional, kognitif (berpikir) dan bahasa. Menurut Piaget, (dalam Hudojo, 1990: 37) perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi memberikan organisme kemampuan matematisasi atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau proses psikologis menjadi sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur. Adaptasi adalah semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran Trianto, (2007:16) adalah sebagai berikut:
1. Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan pada sekedar hasilnya.
2. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran di kelas, anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
3. Memaklumi adanya individual dalam hal kemajuan perkembangan.
3. Teori Vygotsky
Menurut Newman, (dalam Tanjung, 1998) inti teori kontruktivisme Vygotsky adalah integrasi antara aspek internal dan aspek eksternal yang penekanannya pada lingkungan sosial belajar. Vygotsky lebih menekankan pada sosiokultural dalam pembelajaran, yakni interaksi sosial khususnya melalui dialog dan komunikasi.
Vygotsky juga memunculkan konsep scaffolding, yaitu pemberian sejumlah bantuan kepada seorang peserta didik selama tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta didik mengambil tanggung jawab semakin besar setelah ia dapat melakukannya.