Matematika Realistik (MR) diadopsi dari Realistic Mathematic Education (RME) yang merupakan teori pembelajaran dalam matematika. Menurut Tarigan, (2006) RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada asumsi bahwa, matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktifitas manusia. Ini berarti, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan situasi hidup sehari-hari. Selain itu manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) dan mengkonstruksi konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994; Kooij, 1998 ) dalam Suharta, (2001). Upaya ini dilakukan dengan penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “Realistik “. Proses reinvensi dalam empat tahap yang dikemukakan oleh Gravemeijer (1994) dalam Tarigan (2006: 4) yakni : (1) Tahap situasional: pengetahuan dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas digunakan dalam konteks situasi yang sedang dihadapi (2) Tahap refrensial: model situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk mengacu / menjelaskan situasi masalah yang sedang dihadapi (3) Tahap umum: model penalaran dan strategi matematis digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi masalah yang mirip (4) Tahap formal: prosedur dan notasi baku digunakan untuk memecahkan masalah matematika.
Pandangan yang lain (berasal dari freudenthal) adalah matematika sebagai kegiatan manusia yang lebih menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan. Pembelajaran berpusat pada siswa, dengan demikian pelaksanaan pembelajaran matematika, sampai batas tertentu perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Dalam pembelajaran matematika realistik, peran guru terutama sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam proses rekonstruksi ide dan konsep matematika. Gravemeijer, (1994) dalam Tarigan, (2006:5) menjelaskan bahwa peran guru harus berubah dari seorang validator (menyalahkan/membenarkan) menjadi pembimbing yang menghargai setiap kontribusi (pekerjaan dan jawaban) siswa. Perbaikan proses pembelajaran di kelas dapat dititikberatkan pada kegiatan belajar mengajar, aspek ini terkait langsung dengan tanggungjawab guru membina subjek didik menjadi lebih termotivasi untuk belajar sekalipun dengan dukungan yang minimal dari guru (tanpa perlu diceramahi). Konsep ini merupakan acuan bahwa tidak ada siswa yang bodoh dan pengalaman membuktikan bahwa keterbelakangan hanya terjadi jika subjek tersebut malas belajar.
Selanjutnya dalam Gravemeijer, (1994) dalam Tarigan, (2006:5) dinyatakan bahwa pembelajaran matematika realistik ada lima tahapan yang harus dilalui siswa yaitu: penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi, kepercayaan diri dan representasi.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Lange,1995) dalam Hadi, (2005):
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif:
Karakteristik dari pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan oleh Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6)
a. Penggunaan konteks: proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
b. Instrumen vertikal: konsep atau ide matematika. Direkonstruksikan oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal kebentuk formal (dari model yang konkret meningkat ke model yang abstrak).
c. Konstribusi siswa: siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
d. Kegiatan interaktif: kegiatan belajar bersifat interaktif yang memungkinkan terjadi komunikasi dan negosiasi antar siswa.
e. Keterkaitan topik: pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan berbagai topik matematika secara terintegrasi.
Berdasarkan aspek-aspek dan karakateristik dari pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan oleh Lange, (1995) dalam Hadi, (2005) dan Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6) maka guru da siswa dikatakan aktif dalam kegiatan pembelajaran apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
A Guru
1) Melakukan persiapan kegiatan pembelajaran dengan menyiapkan buku paket atau buku penunjang termasuk rencana pelaksanaan pembelajaran, menyiapkan alat evaluasi berupa tes hasil belajar, menyiapkan media atau alat peraga pembelajaran
2) Memiliki keterampilan dasar dalam membuka kegiatan pembelajaran dengan melakukan kegiatan antara lain: memberi salam kepada peserta didik, mengelola kelas, memberikan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran
3) Mampu menerapkan materi pembelajaran dengan memberikan masalah-masalah kontekstual bagi siswa, merespons secara positif setiap jawaban siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan strategi mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah, menggunakan model dalam pembelajaran, menghargai kontribusi siswa, membangun pembelajaran yang interaktif, memotivasi siswa dan memeberikan tugas rumah kepada siswa.
4) Mampu menangani perilaku siswa yang tidak relevan dalam kegiatan pembelajaran
5) Menanggapi setiap kesulitan yang dihadapi siswa
6) Memiliki keterampilan dasar dalam mengelola pembelajaran antara lain: keterampilan mengadakan variasi, keterampilan memeberikan penguatan, keterampilan menjelaskan materi pembelajaran dan penguasaan materi pembelajaran
B Siswa
1) Mendengar dan memperhatikan penjelasan guru atau sesama siswa (interaksi dalam pembelajaran)
2) Mampu menghubungkan materi yang diberikan dengan kehidupan sehari-hari
3) Siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah dengan strategi informal
4) Mampu dan berani mengerjakan soal dipapan tulis
5) Partisipasi dalam pembelajaran
6) Bertanya kepada guru
7) Bertanya atau berdiskusi dengan teman
8) Pemahaman atau penguasaan materi
9) Mampu merumuskan bentuk matematika formal
10) Mengerjakan tugas dirumah dan menyerahkannya kepada guru
2.7 Teori Belajar Yang Relevan Dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Berikut ini teori-teori belajar kognitif yang relevan dengan pembelajaran matematika realistik:
1. Teori Bruner
Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika. Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48) menyatakan bahwa dalam mengajar suatu bahan kajian lebih ditunjukkan untuk membuat siswa berpikir untuk diri mereka sendiri.
Lebih lanjut Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48) menyatakan bahwa anak-anak berkembang dalam tiga tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1) Enaktif, pada tahap ini anak belajar memanipulasi objek-objek secara langsung.
2) Ikonik, pada tahap ini kegiatan anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.
3) Simbolik, pada tahap memanipulasi simbol dan tidak ada kaitannya dengan objek-objek secara langsung.
Urutan tahapan belajar oleh Bruner, tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Berdasarkan teori Bruner, pembelajaran matematika realistik cocok diterapkan dalam pembelajaran, karena diawal pembelajaran sangat dimungkinkan siswa memanipulasi objek-objek yang ada kaitannya dengan masalah-masalah kontekstual yang diberikan oleh guru secara langsung. Kemudian pada proses matematisasi vertikal siswa memanipulasi simbol.
2. Teori Piaget
Menurut Piaget pengetahuan datang dari tindakan, dan sebagian besar perkembangan kognitif bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan.
Teori belajar kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. “manusia tumbuh beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, keribasian, sosioemosional, kognitif (berpikir) dan bahasa. Menurut Piaget, (dalam Hudojo, 1990: 37) perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi memberikan organisme kemampuan matematisasi atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau proses psikologis menjadi sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur. Adaptasi adalah semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran Trianto, (2007:16) adalah sebagai berikut:
1. Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan pada sekedar hasilnya.
2. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran di kelas, anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
3. Memaklumi adanya individual dalam hal kemajuan perkembangan.
3. Teori Vygotsky
Menurut Newman, (dalam Tanjung, 1998) inti teori kontruktivisme Vygotsky adalah integrasi antara aspek internal dan aspek eksternal yang penekanannya pada lingkungan sosial belajar. Vygotsky lebih menekankan pada sosiokultural dalam pembelajaran, yakni interaksi sosial khususnya melalui dialog dan komunikasi.
Vygotsky juga memunculkan konsep scaffolding, yaitu pemberian sejumlah bantuan kepada seorang peserta didik selama tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta didik mengambil tanggung jawab semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar